Mungkin orang-orang
yang membaca artikel ini akan sedikit tercengang, apa benar dalam peperangan
itu ada kasih sayang?
Terkejut dan kaget itu
wajar saja karena kita telah melihat peperangan secara umum yang terjadi di
belahan dunia ini. Berbeda dengan peperangan Islam, perang dalam Islam bukanlah
suatu ekspresi liar yang bertujuan merendahkan orang lain. Namun perang dalam
Islam adalah peperangan dengan bimbingan ilahi bukan untuk menindas yang lemah
dan menampilkan superioritas. Perjalanan kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamadalah bukti yang nyata atas praktik tersebut.
Beliau mempraktikkan aturan-aturan perang dalam Islam tanpa berlebihan juga
tidak menyepelekan. Apa yang beliau praktikkan dalam peperangan menunjukkan
ketinggian dan kemuliaan akhlak secara umum. Kasih sayang yang begitu has,
hingga menyentuh semua sisi kehidupan.
Demikian juga dalam
perang, praktik akhlak yang mulia dalam kondisi ini bukanlah pengecualian.
Sehingga amat dikenal peperangan dalam Islam itu adalah praktik akhlak yang
sempurna.
Ketika membaca
beberapa peperangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik perang yang langsung beliau pimpin atau
beliau mengamanahi seorang sahabat untuk memimpinnya, jelaslah ketinggian
metode perang nabawi ini. Perang ini menunjukkan kedalaman iman. Menunjukkan
mulianya generasi awal yang mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan benar-benar terwarisi dalam banyak kisah
penaklukkan mereka di masa al-Khalifah al-Rasyidun.
Menjaga Darah
Umumnya pasukan yang
menang atau lebih superior, mereka menolak untuk diajak memberhentikan
peperangan. Karena mereka memiliki kesempatan untuk mengalahkan musuh, lalu
menguasai daerah mereka. Dan kita lihat, negara atau kaum yang lemah biasanya
mereka mengajukan perjanjian damai. Bagi mereka yang kuat, ekspansi pun akan
terus berlanjut. Bukan saja nyawa yang hilang, akan tetapi malapetaka
penjajahan dilakukan.
Kondisi demikian tidak
pernah terjadi sekalipun di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menjadikan perang sebagai
solusi utama. Hal itu beliau tempuh sebagai alternatif terakhir karena untuk
membela diri atau karena orang-orang yang memerangi beliau tidak mengetahui
tentang Islam. Jika mereka tahu akan Islam, niscaya mereka akan memeluk Islam
bahkan membelanya. Karena itu, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peperanganya berkeinginan kuat untuk tidak
menumpahkan darah musuhnya. Dan beliau mempersiapkan hal itu dengan
sebaik-baiknya. Sekiranya orang-orang yang tidak mengenal Islam itu mempelajari
Islam sebelum mereka mengambil sikap, niscaya mereka tahu bahwa syariat Islam
adalah syariat yang penuh kasih sayang.
Orang yang memeluk
Islam saat perang berkecamuk, maka ia tidak boleh dibunuh.
Di antara ajaran Islam
yang menunjukkan betapa Islam tidak ingin menumpahkan darah adalah ketika ada
seseorang dari pihak musuh yang memeluk Islam saat perang tengah berkecamuk,
maka ia tidak boleh dibunuh. Walaupun keislamannya itu meragukan (karena takut
atau sudah terdesak pen.).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah marah kepada Usamah bin
Zaid radhiallahu ‘anhu karena ia membunuh seseorang yang
memeluk Islam tatkala perang berkecamuk. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim suatu pasukan menghadapi
kaum musyrikin. Ketika kedua pasukan tersebut bertemu, orang-orang musyrik
menyerang orang muslim, maka mereka sengaja menyerangnya. Adapun kaum muslimin,
menunggu mereka lalai. –Perawi hadits- mengatakan, “Kami mempertanyakan apa
yang dilakukan oleh Usamah bin Zaid. Ketika ia mengangkat pedangnya, orang
musyrik yang diperanginya mengucapkan laa ilaaha illallah. Namun Usamah tetap
membunuhnya. Lalu datanglah orang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya dan mengabarkan kepada beliau
tentang apa yang dilakukan Usamah.
Rasulullah memanggil
Usamah dan bertanya, “Mengapa engkau lakukan itu?” Usamah menjawab, “Wahai
Rasulullah, dia telah menyakiti umat Islam dan telah membunuh fulan dan fulan
–Usamah menyebutkan beberapa nama-. Aku telah mengalahkannya. Ketika ia melihat
pedangku, barulah ia mengucapkan laa ilaaha illalla”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi, “Jadi engkau membunuhnya?!”
“Iya.” Jawab Usamah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang akan engkau pertanggung-jawabkan
dengan kalimat laa ilaaha illallah pada hari kiamat nanti?”
Usamah berkata, “Wahai
Rasulullah, doakan ampunan untukku”. Rasulullah tetap mengatakan, “Apa yang
akan engkau pertanggung-jawabkan dengan kalimat laa ilaaha illallah pada hari
kiamat nanti?” dan beliau terus-menerus mengulangi kalimat tersebut.” (HR.
Muslim di Kitabul Iman).
Inilah sikap
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam terhadap orang
yang memerangi beliau. Beliau tetap bersikap adil. Padahal Usamah bin Zaid
adalah termasuk orang kesayangan beliau.
Orang yang dibunuh
Usamah ini bukanlah orang kafir biasa. Ia adalah seseorang yang telah menyakiti
dan membunuh beberapa orang dari umat Islam. Kemudian Usamah berhasil
mengalahkannya, saat ia mengangkat pedangnya untuk tebasan terakhir, orang
tersebut mengucapkan laa ilaaha illallah. Dalam keadaan demikian, pasti
orang-orang akan mengatakan apa yang Usamah katakan. Yaitu orang itu mengatakan
kalimat laa ilaaha illallah sebagai taktik melindungi diri agar tidak terbunuh.
Jika tidak dalam keadaan terdesak, ia tidak akan mengatakan kalimat tauhid
tersebut. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menerima alasan tersebut.
Sikap Rasulullah ini
menunjukkan bahwa beliau ingin agar darah itu tidak tertumpah dan memaafkan
orang tersebut. Perhatikanlah! Adakah sikap ini dalam benak para pemimpin dunia
dari kalangan non muslim? Tentu tidak akan kita dapati. Sikap demikian hanya
akan didapati pada orang-orang yang berperang dengan niat seperti niat
berperangnya Rasulullah dan para sahabatnya; mengajak orang yang kafir menjadi
beriman. Mengajak mereka ke surga dan terhindar dari neraka. Inilah bentuk
kasih sayang yang begitu indah untuk direnungkan.
Rasulullah Menerima
Ajakan Perdamaian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan musuh memeluk Islam,
baru perang dihentikan. Beliau menempuh cara apapun agar peperangan segera
berhenti dan darah musuh tidak tertumpah. Walaupun perdamaian diajukan musuh
tatkala mereka benar-benar lemah dan terdesak. Contohnya dalam peperangan
berikut ini:
Perang Khaibar
Ketika kemenangan kaum
muslimin telah tampak, orang-orang Yahudi Khaibar mengajukan perjanjian damai
kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Lalu apa yang
dilakukan oleh Rasulullah? Simak penuturan Imam Ibnu Katsir rahimahullah berikut ini:
“Ketika orang-orang
Yahudi yakin mereka akan kalah, karena telah dikepung oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam selama 14 hari, mereka mengutus Ibnu Abi
al-Huqaiq. Ia mengadakan perjanjian damai dengan Rasulullah. Beliau sepakat
untuk menghentikan pertumpahan darah, namun mereka dikeluarkan dari Khaibar,
dan menyerahkan harta benda dan hewan tunggangan mereka kepda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali yang melekat pada diri mereka
yakni pakaian. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
وبَرِئَتْ مِنْكُمْ
ذِمَّةُ اللهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ إِنْ كَتَمْتُمْ شَيْئًا
“Jaminan Allah dan
Rasul-Nya terlepas dari kalian jika kalian menyembunyikan sesuatu.” (Sirah Nabawiyah
oleh Ibnu Katsir, 3: 367).
Yahudi Khaibar adalah
mereka yang memiliki keinginan kuat dan mengerahkan segala kemampuan untuk
memerangi umat Islam. Hal itu telah mereka lakukan dua tahun sebelum terjadi
Perang Khaibar. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menerima permintaan damai mereka dan melindungi
darah mereka.
Perang Bani Musthaliq
Pada Perang Bani
Musthaliq, Allah Ta’ala memberi kemenangan untuk kaum muslimin.
100 rumah dari Bani Musthaliq berhasil dikuasai umat Islam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membunuh mereka. Beliau tidak
menerapkan hukuman sebagaimana para pemimpin di masa itu atau bahkan di masa
sekarang lakukan. Bahkan Rasulullah membebaskan mereka semua dan mendudukkan
tokoh mereka, Jauriyah binti al-Haritsradhiallahu ‘anha, sebagai wanita yang mulia di hadapan kaum muslimin. Rasulullah
menikahi Juwairiyah dan menjadikannya salah seorang di antara ibu orang-orang
yang beriman.
Pernikahan Rasulullah
dengan tokoh Bani Musthaliq ini membuat para sahabat membebaskan semua tawanan
Bani Musthaliq. Mereka enggan menjadikan besan Rasulullah sebagai tawanan
perang.
Sejarah yang kita baca
ini bukanlah perjalanan hidupnya malaikat. Ini adalah sejarah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang beriman dengan
Islam dan mempraktikkannya dalam kehidupan mereka.
Apa yang kit abaca
adalah bukti sebuah kasih sayang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau sangat berupaya untuk tidak menumpahkan darah
orang-orang yang memerangi beliau. Bersamaan dengan kasih sayang itu,
orang-orang tetap memerangi beliau.
Oleh Irham Maulana
Artikel www.KisahMuslim.com
Artikel www.KisahMuslim.com
0 comments:
Post a Comment